Cahaya Petunjuk
(karya: Vernanda Saktilas)
Rintik hujan membangunkanku dari mimpi, pagi
itu aku malas untuk bangun. Setelah aku membuka mata, aku baru sadar bahwa di
luar tidak hujan. Pagi itu adalah pagi yang cerah. Ternyata ibuku
membangunkanku melalui percikan air yang ia buat dari segelas air minum. Aku
Sakti, anak pemalas yang dulunya rajin, namun hal itu berubah sejak kejadian
dua bulan yang lalu.
Malam itu adalah malam minggu , dimana aku
masih sangat rajin dan peduli dengan hidupku. Saat itu aku sedang menelpon
Alkena. Dia adalah perempuan yang saat itu dekat denganku, sayangnya kami tidak
memiliki hubungan yang pasti. Tapi entah kenapa aku begitu menyayanginya. Aku
tak begitu ingat dengan apa yang kami bicarakan.
“Oh iya, aku punya buku bagus loh. Udah
selesai aku baca. Mau ikut baca?”
“Buku apa ?” tanya dia penasaran.
“Cara menjadi orang genius” jawabku sembari
meminum susu yang dibuatkan oleh ibuku.
Tanpa bertanya-tanya lagi dia menjawab
“Pokoknya aku pinjem bukunya. Besok bawain bukunya jam 8 sampe rumah”
Sebenarnya aku ingin berkata tidak bisa, tapi
dia buru-buru menutup telponnya.
Keesokan harinya aku bangun lebih
awal untuk menyelesaikan tugasku membantu orang tuaku. Hari itu aku sangat
bersemangat karena aku akan bertemu Alkena. Tanpa ku sadari tugasku sudah
selesai dan aku bergegas mandi.
Saat
itu pukul 07.30 WIB. Aku siap pergi kerumah Alkena. Aku sengaja tidak sarapan
karena aku berniat mengajak Kena makan. Aku langsung berpamitan dengan Ibuku
untuk pergi.
“ Buk, aku berangkat dulu ya”
“Hati-hati di jalan, jangan pulang sore-sore,
Ti” jawab Ibuku seraya menghampiriku untuk ku cium tangannya.
“Doa udah, uang jajannya mana, Bu ?” pintaku
dengan senyuman.
Tanpa berkata-kata ibuku langsung memberikan
sejumlah uang kepadaku. Lalu aku berteriak “Alhamdulillah”
Kumulai perjalananku menggunakan
motor dengan sangat cepat karena tak sabar untuk bertemu dengan Kena. Tak
sampai 15 menit aku sudah sampai di depan rumahnya.
“Assalamualaikum” salamku sambil mengatuk
pintu.
Tak beberapa lama kemudian aku mendengar orang
menjawab salamku.
“Waalaikummussalam, siapa ya ?” suara seorang
dari dalam sambil membukakan pintu.
“Saya Sakti. temannya Kena, Kak” jawabku
dengan tegas.
‘’Tuggu ya. Kena lagi mandi. Tunggu di dalem
sini lo, dek” ucap Kakak Kena pertanda mempersilahkan masuk.
Setelah itu aku masuk ke dalam
sambil berbincang-bincang dengan kakak Kena yang ternyata lumayan cerewet
dibandingkan Kena. Dia bercerita tentang Kena yang belum aku ketahui
sebelumnya. Mulai dari dia yang belum berani tidur sendiri, jarang belajar
sampai dia yang kalau mandi pasti memerlukan waktu lebih dari 30 menit. Padahal
kita baru berkenalan.
Tak terasa Kena pun sudah selesai
mandi dan berganti pakaian lalu menghampiriku. Kakak Kena pun meninggalkan kami
berdua di ruang tamu.
“Sakti, udah dari tadi ya ? maaf ya buat kamu
nunggu lama” tanya Kena dengan nada memelas.
“Iya nih, tapi untung ada kakak kamu yang mau
nemenin aku nunggu. Coba aja kalo gak ada mungkin kamu udah aku intipin” jawabku
sambil bercanda keadanya.
“Bukunya mana?”
Tanpa menjawab aku memberikan buku yang ada di
dalam tasku dan ku serahkan padanya. Setelah mendapat buku itu dia membuka
lembaran-lemaran buku itu dan berkomentar.
“Kayaknya kalo aku baca sekarang bakalan males
deh. Aku lagi pengen main nih” komentar dia sambil mengode aku untuk
mengajaknya jalan-jalan.
“Yaudah bacanya nanti aja, sekarang kita maen
aja yok !”
“Tapi, aku kalo maen yang mau ngajak maen
harus izin dulu” jawab Kena dengan mengode lagi untuk menyuruhku meminta izin
sama ibunya.
“Ibu kamu dimana?”
“Ibu lagi di kamar. Bentar ya aku panggilin”
Saat itu aku benar-benar bingung mau
berkata apa dengan ibunya Kena namun aku berniat untuk membuat ibu Kena bahagia
dulu baru minta izin.
“Ini buk temen aku mau ngomong” kata Kena
kepada ibunya.
“Iya ada apa?” tanya ibu Kena kepadaku.
“Gini buk tadinya saya kan cuma nganterin buku
eh malah Kena ngajak maen. Nah sekarang saya mau ngajak Kena main boleh gak buk
?”
“Mau main kemana ?” tanya ibu Kena memarah.
“Saya pengan ke kandang buaya buk” aku
menjawab dengan nada serius.
“Nggak. Kamu kira anak saya itu apa ?” ibu
Kena mulai marah denganku.
“Enggak buk. Maksud saya, saya ingin megajak
Kena untuk membaca buku”
“Baca buku dimana ?” kengkang ibu Kena tidak
mengizinkan anaknya pergi.
“Tapi gak papa kok mumpung hari minggu” lanjut
ibu Kena
“Oke buk makasih ya saya mau ke kandang buaya
sama Kena, eh maksudnya baca buku. Di perpustakaan” jelasku kepada ibu Kena.
“Assalamualaikum” salam kami berdua seraya
pergi meninggalkan rumah.
Saat di perjalanan aku dan Kena
ngobrol banyak hal. Aku sangat senang bisa berjalan-jalan dengan Kena, apalagi
cuma berdua saja. Saat itu cuaca sangat terik dan aku merasa haus, aku mengajak
Kena untuk membeli sesuatu yang dapat menyegarkan tenggorokan kita berdua. Saat
itu aku sedang melintasi sebuah warung favoritku yang sering ku kunjungi
bersama teman-temanku. Aku menawarkan Kena untuk mampir ke warung itu. Warung
itu adalah “Warung Soto Mbok Ton”.
“Kena aku haus nih, mampir ke warung di depan
yok !” ajakku ke Kena
“Mau minum apa ?”
“Es teh yok”
“Enak deh kayaknya” ucap Kena menandakan dia
mau.
Sesampainya disana aku menanyai Kena
untuk makan apa.
“Kena mau pesen apa ? Sate, bakso, mie ayam, siomay,
batagor, bakmi, bakmi mewah” tawarku ke Kena.
“Ohh iya, aku mau pesen bakmi mewah aja”
“Tapi di sini adanya soto doang”
Tanpa ku sadari Kena mengacak-acak
rambutku sambil berkata “Ihhh nyebelin” kemudian kami tertawa karena ulah yang
ku buat. Aku memesan dua mangkuk soto dengan nasi karena kami sangat lapar.
Tidak hanya sedih yang melelahkan,ternyata bahagia juga.
Aku menunggu makanan sambil
mengobrol dan bercanda dengannya. Tanpa kita sadari makan pun sudah siap di
meja makan yang kita duduki, warung itu sangat sederhana, seperti Kena. Aku
sangat menyukai tempat itu, makanannya enak dan juga harganya murah. Warung itu
adalah one of the best di himpunan
penyelesaian dua variabel. Maksudku di daerahku.
Aku dan Kena makan dengan sangat
pelan-pelan karna sotonya sangatlah panas ditambah cuaca di luar juga panas,
jadi panas kuadrat (panas2). Setelah selesai makan, aku membayar dan
mengajak penjualnya untuk jalan, maksud ku mengajak Kena jalan.
“Kena, kita mau pergi kemana nih ? Ke
perpustakaan kota yuk” ajakku dengan ramah.
“Ahhh kita mau ngapain ke perpustakaan ?” tanya
dia balik.
“Yaudah kamu maunya kemana ?” kujawab dengan
nada memarah.
Sebenarnya aku ingin pergi ke
perpustakaan karena disana aku bisa bertemu dengan beberapa temanku yang yang
bisa mencairkan suasana daripada pergi ke tempat lain yang bisa membuat orang
mengira kita pacaran.
“Kita ke taman aja yok sambil jalan-jalan kan
seru !” ajak Kena.
“Yaudah” ucapku dengan baper.
“Kamu marah ya ?” tanya dia lagi.
“Gak” Jawabku cuek.
Aku menyalakan motorku dengan
semangat namun tidak menyala, aku tidak tau kenapa. Saat itu aku memukuli
motorku dengan agak marah, sebenarnya saat itu aku tidak marah dengan siapapun
aku hanya kesal dengan motorku yang tiba-tiba rusak entah kenapa.
“Tuh kan marah” seru dia dengan memojokkanku.
“Enggak kok” ucapku dengan meyakinkan dia.
Setelah itu aku melanjutkan memukuli
motorku kalau-kalau motorku bisa menyala.
“Jujur aja deh kalo kamu marah ngapain kamu
pukul-pukul motormu” Kena menyindirku lagi.
“Enggak loh ini lo gak idup motornya” yakinku
lagi.
“Coba mana aku idupin” kata dia sambil
menyalakan motorku.
Aku tidak tau kenapa motorku bisa
menyala, Kena cemberut dan menaiki motor. Setelah kejadian itu, aku sengaja
mengajaknya berkeliling Taman Kota naik
motor agar dia senang. Aku mengobrol dengannya banyak hal. Saat itu kami
benar-benar dalam titik puncak kebahagiaan.
“Kena, aku seneng banget deh, bisa
seharian sama kamu. Mulai dari jemput kamu, makan soto di Mbok Ton,
jalan-jalan. Hem bahagia banget ya aku” ungkapku ke dia dengan penuh hangat.
“Gak Cuma kamu kali yang bahagia.
Tapi kita. Aku masih gak percaya bisa jalan sama kamu. Hahaha kita tuh siapa
bisa berduaan gini ?” tanya Kena kepadaku.
“Yaaaa. Kita emang sekarang bukan
siapa-siapa. Tapi, siapa sih yang tau kalo suatu hari esok kita bisa jadi
jodoh” aku menggombali dia sambil tersenyum, saat itu aku tidak bisa melihat
ekspresinya karena kita sedang mengendarai motor.
“Dasar Mr. Gombal” dia teriak sambil
memukul pelan helm yang ku gunakan.
Kami berjalan-jalan hingga lupa
waktu. Saat itu kulihat jamku ternyata jam menunjukkan pukul 16.23 WIB. Aku
mengantar Kena pulang. Sesampainya dirumah Kena aku tidak melihat ibu atau ayah
Kena. Kata Kena orang tua Kena memang seperti itu, kalau hari minggu pasti
berduaan entah kemana. Sepertinya mereka tidak mau kalah dengan anaknya. Aku
berpamitan dengan Kena untuk langsung pulang tanpa mampir dulu. Aku berpesan
kepadanya untuk segera membaca buku yang ku pinjamkan kepadanya.
Malam harinya, Kena membaca buku
itu. Dia berkata padaku bahwa buku itu bagus dan memotivasinya untuk maju. Aku
tidak tahu apa maksudnya tapi aku senang bisa membuatnya menyukai buku itu.
Kena juga bercerita bahwa malam itu dia sedih karna di marahi oleh ayahnya yang
ternyata mengetahui kami berduaan seharian. Aku menanyainya kenapa dia bersedih
tapi dia tidak mau menjawab dan berjanji kepadaku bahwa besok akan bercerita di
sekolah.
Keesokan harinya adalah hari Senin
yang menjengkelkan. Saat istirahat aku bertemu dengan Kena, namun waktu itu dia
sedang bermain dengan anak laki-laki lain. Aku tidak jadi menemuinya karena aku
sedikit kesal dengan diriku sendiri. Kenapa
aku tidak bisa bermain dengannya, kenapa orang lain. Aku pun kembali ke kelasku
dengan perasaan sedih dan pasti Auto
Badmood.
Sampailah pada siang hari di
sekolah, saat itu aku sedang berjalan menuju masjid yang kebetulan melewati
kelasnya. Aku sengaja ke masjid lebih cepat agar bisa bertemu Kena. Aku melihat
dia sedang berdiri di dekat pintu kelasnya yang sepertinya menungguku sendari
tadi. Aku menyapanya dengan sedikit kesal.
“Hai Kena, gimana udah baca sampe selesai
bukunya ?” tanyaku basa-basi.
“Ya.
Kenapa ya ? Udah kan mau udah tau” jawab dia cuek.
Saat itu aku merasa dia berubah dari yang
dulunya cerewet jadi sangat pendiam. Mungkin itu adalah cara dia menjauhiku.
Suasana jadi hening dan sepi.
“Setelah baca buku itu aku jadi tau apa yang
harus aku lakukan” ucap dia dengan lantang sambil melihat sekeliling.
Dia
mengajakku untuk pergi ke kebun sekolah yang saat itu sepi. Tanpa berpikir lagi
aku pergi ke kebun dengannya. Nampaknya dia ingin berbicara serius.
“Sakti, aku sayang kamu. Kamu tau itu kan ?
Dirimulah yang membuatku menyayangimu. Hari demi hari, bulan demi bulan kita
bersama. Sampai pada hari ini, hampir setengah tahun kita bersama. Buku yang
kau pinamkan kepadaku kemrin sangat membuatku sadar bahwa selayaknya kita belum
bersama. Aku sangatlah memaknai buku itu. Terimakasih kau telah membuatku
sadar. Jika kita memang jodoh, pasti kita akan bersama-sama suatu saat nanti.
Aku sayang kamu. Tapi maaf aku ingin sukses, aku ingin menjadi orang yang
berguna dan yang pasti genius. Aku tidak mau menjadi jahat. Tapi Sakti, kalau
misal kita pacaran, aku putusin kamu tapi sayang kita gak punya hubungan yang
pasti. Selamat tinggal Sakti”
Tanpa menunggu aku menjawab dia pergi
meninggalkanku dari tempat itu. Aku bingung aku harus bagaimana. Mulai saat itu
aku jalani hari-hariku dengan penuh rasa sedih. Aku malas belajar, padahal saat
itu adalah waktu mendekati UN. Kemalasan itu aku jalani hingga pagi ini setelah
aku terbangun oleh percikan air yang dibuat oleh ibuku. Dua bulan setelah
Alkena Dwi Putri Rahmawati meninggalkanku.
Pagi ini aku memikirkan bagaimana keadaan
Alkena tanpa aku. Dia pasti bahagia. Dan aku bingung kenapa aku masih bersedih.
Aku sadar bahwa aku gak bisa terus-terusan seperti ini. Pagi ini aku hanya
merenung di kamar sampai akhirnya aku dihampiri oleh ibuku dan aku menceritakan
semua masalahku. Ibuku memotivasiku.
“Ada lebih dari 70 milyar manusia di dunia dan
kamu masih bersedih karena satu orang yang menyakitimu ? hey boy, you have to be strong !” Kata Ibuku sambil menepuk bahuku.
“Buktikanlah bahwa kamu bisa lebih baik
tanpanya, lihatlah keluar. Cahaya matahari itu akan menyemangatimu untuk maju.
Ayo nak. Bakar semangatmu. Jadikan cahaya itu petunjukmu” ibuku menyemangatiku
Aku langsung bersemangat kembali.
Hari ini adalah 2 minggu sebelum UN. Aku mulai membaca buku-buku dan berlatih
soal dengan sangat semangat. Aku tidak tau bagaimana hasilnya. Aku hanya
mentargetkan danem yang lebih dari 20.00. Karena ketika try out nilaiku hanya 22.75. Aku percaya bahwa ketika kita mau,
ketika kita ingin dan ketika kita belajar. Hasilnya akan lebih baik daripada
kita tidak melakukan apa-apa.
Hari demi hari aku lalui dengan
semangat penuh. Aku belum terlalu siap untuk UN. Tapi aku yakin aku akan siap
untuk ujian tahun ini. Aku merasakan bahwa inilah diriku yang sebenarnya. Aku
telah kembali ke titik kebahagiaanku yang ku alami dua bulan yang lalu, namun
sekarang bentuknya dengan semangat membara untuk membuktikan bahwa diriku itu
mampu.
Sampai pada akhirnya aku siap. Aku
sudah melewati UN tanpa halangan berarti. Semua itu berkat ibuku.
Dan akhirnya, hari itu datang.
Pengumuman kelulusan. Aku senang dinyatakan lulus. Tapi puncak kebahagiaanku
bukan disitu, aku berhasil meraih danem 31.55. aku sangat terkejut dengan
hasilnya. Aku yang pemalas, aku yang tidak pernah belajar dan yang tidak pernah
berfikir akan mendapatkan nilai sebesar itu. Namun, aku tersadar dari semua itu
dan aku memperbaikinya. Dan aku tau bahwa aku pantas mendapatkannya.
Dibalik semua itu aku tersadar sesuatu yang
sudah hampir ku lupakan. Bagaimana hasilnya jika aku masih bersama Kena ?
apakah bisa seperti ini ? mungkin ini adalah sebuah hikmah dari sebuah
kehilangan. Kita harus merelakan sesuatu hilang untuk digantikan dengan yang
lebih baik. Terimakasih Alkena sudah membuat diriku menjadi lebih kuat.
Terima kasih untuk Ibuku yang sudah membuatku kembali ke Cahaya Petunjuk. Dan
terimakasih Tuhan. Aku sudah mendapatkan hikmah dari sebuah kehilangan.
TAMAT